Bahaya laten korupsi sudah merajai bumi pertiwi nan permai,
berjuta rakyat menjadi imbas dari segelintir penguasa yang berkesadaran bengkok
alias suka merampok, merampas, mencekik, bahkan menghisap hak-hak rakyatnya.
Dari era Orde Lama, Orde Baru dan era reformasi korupsi masih menjadi penyakit
yang hingga saat ini belum ditemukan obat penawar, angkanya tidak bisa ditekan
bahkan semakin merajalela, apalagi untuk diberantas dan dihilangkan dari bumi
pertiwi.
Virus utamanya belum ditemukan, masih diterka-terka apa sebab
musababnya, sehingga virus ini bisa mengakar dengan kuat di bumi pertiwi. Jika
disebabkan oleh minimnya kesadaran intelktual, kecintaan, wawasan kebangsaan,
kesadaran hukum, toh pelakunya adalah para pakar, ilmuan, sampai tokoh yang
berwawasan serta berintelejensi tinggi.
Memberantas korupsi bukan perkara mudah, ditambah lagi
bagaimana para pemimpin bangsa yang tidak berkarakter. Rasa kecintaan, wawasan
kebangsaan, kesadaran hukum yang mereka perlihatkan di depan publik hanyalah
sandiwara belaka.
Ketika hukum tak mampu
berbicara
Di Negara Indonesia, hukum adalah panglima tertinggi untuk
mengawal dan menindak setiap tindakan kejahatan termasuk korupsi. Tapi
lagi-lagi hukum justru telah membakar identitas dan nama baiknya oleh beberapa
pegiat dari dalam tubuh sendiri. Kasus-kasus mafia peradilan, serta longgarnya
hukuman yang dialamatkan kepada pelaku korupsi menambah hancur kredibilitas
hukum di mata masyarakat, bahkan KPK yang digadang-gadang sebagai pemburu kasus
yang paling disegani berikut dipercaya oleh hampir seluruh rakyat negara ini
pun ikut terjangkit oleh penyakit korup yang terus membudaya dari aras yang
satu hingga aras lain. Fakta ini membuat
rakyat terus melahirkan pertanyaan, dimana kita bisa menempatkan badan untuk
bersandar?
Hukum telah lama tunduk oleh penguasa, hukum yang harusnya
memberi efek jera kepada pelaku korup justru memberi ruang yang semakin lebar
dan nyaman untuk para perampok uang negara. Hukum bahkan seolah-olah menjadi
tempat bermainnya pegiat korupsi. Ini fakta, bukan cerita fiktif yang
dinarasikan dalam dongeng-dongeng lama. Gayus Tambunan pelaku korupsi di
wilayah pajak justru enak melenggang keluar di tengah ia sedang dalam jeratan
hukum, Artalita tanpa sedikitpun rasa hormat kepada hukum dengan mambawa
peralatan tidur layaknya hotel di dalam jeruji besi. Dua kasus ini hanyalah
cipratan kecil yang cukup membuat kita kehilangan kepercayaan kepada lembaga
peradilan di negeri garuda ini.
Negara ini sepertinya tidak lagi membutuhkan lembaga hukum,
karena hukum senang menjebak rakyat kecil, menindas yang lemah, sebaliknya
mereka malu-malu kepada penguasa, sopan santun kepada koruptor, bahkan mau
bodoh-bodohi oleh para kleptokrat di negeri ini.
Berantas koruptor tak
harus KPK
Pemberantasan korupsi merupakan tanggungjawab kita bersama,
terutama para akadmisi, masyarakat dan kaum intelektual, hal ini diwakili oleh
generasi penerus dan perguruan tinggi sebagai pencetak, pengkader, pembimbing, bagi
generasi penerus (pelajar, pemuda dan mahasiswa). Perguruan tinggi harus bisa
mentransformasikan pendidikan karakter ( model, metode dan kurikulum) yang pas
untuk menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan karakter. Disamping itu peran
masyarakat juga sangat penting dalam penginternalisasian nilai-nilai kearifan
lokal, karena peran lingkungan sangat mempengaruhi karakter anak bangsa.
Pendidikan karakter yang perlu di implementasikan dilembaga
pendidkan adalah karakater falsafa bangsa indonesia dan nilai-nilai moralitas.
Empat pilar filosofi bangsa harus terinternalisasikan dengan baik. Keempat
pilar tesebut adalah: Pancasilah, UUD 1945, NKRI dan Bineka Tunggal Ika.
Nilai-nilai moralitas yang perlu ditanamkan adalah akhlakul karimah,
budipekerti luhur.
Mahasiswa sebagai agen perubahan harus melakukan yang terbaik
untuk bangsa. Harus berani mengatakan tidak dan siap memerangi para koruptor
sejak dini. Harus menancapkan idealisme yang kokoh sebagi benteng dan pondsi
memerangi korupsi. Melakukan segala hal dengan kecintaan
baik itu dalam ranah Hubungan terhadap Allah, Alam, Manusia, hayati (interaksi
kehidupan) dan Akhirat.
Hubungan dengan Tuhan adalah kita
menempatkan diri kita sebagi hamba. Melakukan ibadah dengan sebaik-baik ibadah.
Melakukan yang terbaik untuk alam Indonesia, sehingga bermanfaat untuk rakyat.
Melakukan interaksi sosial yang terbaik ( mengauli sesama) dengan pergaulan dan
intaksi yang terbaik.
jika itu bisa terinternalisasi dengan
baik maka masyarakat indonesia akan terbebas dari budaya KORUPSI.
Ikut mndukung dlm segala kegiatan
BalasHapus