Jumat, 18 November 2011

PKM-GT dampak pandemi influenza pase 6 terhadap praktek ibadah mahdhah umat islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang
Musibah besar pandemi influenza yang pernah menewaskan sampai 50 juta penduduk dunia pada tahun 1918 sampai 1919 tengah menghantui masyarakat dunia saat ini. Negara-negara di dunia pun tengah bersiap-siap meresponnya (WHO, 2005; US. Department of Homeland Security, 2006; CDC, 2007; Komnas FBPI, 2008), juga institusi-institusi nasional di Indonesia (POLRI, 2007; PMI, 2007; Pertamina, 2007; Komnas FBPI, 2008). Pandemi influenza tahun 1918 adalah induk dari semua pandemi (Taubenberger, et al., 2006) yang diduga kuat akan terjadi lagi (WHO, 2005; Komnas FBPI, 2008). Bahkan berdasarkan kajian secara seksama terhadap siklus sejarah terjadinya pandemi, itu akan terjadi tahun 2009 ini (Pemprov Jateng dan UNICEF, 2009). Pandemi influenza merupakan wabah penyakit influenza yang menjangkiti penduduk bumi, tidak saja dalam satu negara, namun di berbagai negara, yang berpotensi menimbulkan komplikasi kematian (Kamps, et al., 2006; WHO, 2005; Komnas FBPI, 2008; Pemprov Jateng dan UNICEF, 2009).

Di Indonesia kekhawatiran itu pun muncul, lebih-lebih ketika sebaran temuan virus flu burung H5N1 semakin meluas di berbagai propinsi Indonesia. Pada bulan Desember 2008 dilaporkan bahwa virus H5N1 sebagai penyebab virus flu burung telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia, kecuali provinsi Gorontalo dan Maluku Utara, dengan 249 kabupaten/kota dari 473 kabupaten/kota. Dalam perkembangannya, virus flu burung ini telah menginfeksi manusia, yaitu 139 orang dengan korban meninggal 113 orang dan angka kematian kasus (CFR) lebih 81,75% . Kasus flu burung pada manusia telah menyebar ke 12 dari 33 provinsi yang mencakup 47 dari 473 kabupaten/kota. Dari laporan WHO, jumlah kasus flu burung pada manusia secara global yaitu 390 orang, dan 246 diantaranya meninggal (CFR: 63,3%). Dari jumlah tersebut, Indonesia memiliki jumlah kasus dan kematian yang besar (Komnas FBPI, 2008). Virus H5N1 sewaktu-waktu dapat bermutasi, menjadi subtipe baru yang menular antara manusia ke manusia (Kamps, et al., 2006; Mohamad, 2006). Penularan antar manusia ini dapat memicu terjadinya episenter pendemi influenza yang menimbulkan dampak negatif yang sangat besar bagi Indonesia dan dunia, sehingga perlu dipersiapkan upaya untuk mengantisipasinya (WHO, 2005; Komnas FBPI, 2008; Pemprov dan UNICEF, 2009).

Fase ke enam dalam skenario siaga pandemi influenza merupakan fase siaga terhadap pandemi influenza yang telah menyebar secara efektif di masyarakat (WHO, 2005; Komnas FBPI, 2008). Pada fase ini, tujuan pengendalian diarahkan pada upaya meminimalkan dampak pandemi yang ditempuh, diantaranya, dengan cara membatasi gerak aktivitas penduduk (WHO,2005). Di Indonesia, upaya ini bahkan sampai tingkat dimana penduduk tersebut dikarantina di dalam rumah yang tata caranya merujuk pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah (Komnas FBPI, 2008). Secara sosiologis, pemberlakuan karantina rumah bagi penduduk berarti membagi ruang hidup penduduk yang sudah dikenal sebelumnya menjadi “ruang hidup dalam rumah” dan “ruang hidup luar rumah” dimana “ruang hidup luar rumah” mustahil dijalankan. Sehingga, keseharian masyarakat di bawah ketentuan karantina rumah terkonsentrasi di dalam rumah. Ibadah mahdhah merupakan jenis peribadatan dalam agama Islam dimana tata cara, perincian dan kadarnya telah ditentukan oleh syar’i (pembuat syari’at), yaitu Allah swt. dan Rasul-Nya (Wibowo, dkk., 1995). Berdasarkan rincian tata cara ibadah mahdhah sebagaimana dalam Al Jazairi (2000) tampak bahwa keabsahan ibadah mahdhah terpengaruh oleh jumlah orang dan ruang. Terdapat jenis ibadah mahdhah yang sudah mencapai tingkatan sah secara syari’at meski dilakukan secara perseorangan (personal), seperti dalam shalat dan puasa, namun ada pula yang menuntut keterlibatan orang atau pihak lain (multi personal), seperti dalam zakat dan haji (bagi yang mampu). Dilihat dari aspek ruang penyelenggaraan, terdapat ibadah mahdhah yang diselenggarakan di masjid atau tanah lapang, baik sebagai syarat sah, seperti pada shalat jum’at (di masjid) dan shalat sunah tahyatul masjid (di masjid), maupun sebagai keutamaan, seperti pada shalat fardlu berjama’ah (di masjid) dan shalat Idul Fitri (di tanah lapangan), dan ada pula yang dapat diselenggarakan di rumah. 

Dengan pertimbangan bahwa pemberlakuan karantina rumah menyebabkan masyarakat umum tidak dapat menjalankan aktivitas “hidup di luar rumah”, maka pemberlakuan karantina rumah menyebabkan umat muslim tidak dapat menjalankan “ibadah mahdhah luar rumah”. Padahal, dalam jenis-jenis ibadah mahdhah, selain ada yang berhukum sunah, terdapat pula yang berhukum wajib bagi setiap muslim, bahkan ada yang merupakan pilar rukun Islam (Qardawi, 1988; Wibowo, dkk, 1995; Al Jazairi, 2000). Jika seorang muslim meninggalkan suatu kewajiban ibadah, lebih-lebih rukun Islam, maka keimanan orang bersangkutan akan dipersoalkan secara syari’at, bahkan sampai berpotensi menghilangkan status keislamannya (Qardawi, 1988). Hal tersebut merupakan dampak serius dari pemberlakuan siaga pandemi influenza fase 6 bagi umat muslim yang perlu diantisipasi dan diupayakan jalan keluarnya. Jika tidak, akan berpotensi melahirkan permasalahan serius jika kelak ketentuan tersebut diberlakukan baik dari perspektif syariat, aspek sosiologis maupun psikologi umat muslim. Baik pihak pengambil kebijakan, umat muslim maupun pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengendalian pandemi influenza sangat penting mulai memikirkan dan mendialogkan secara lintas sektoral terkait bagaimana sebaiknya jalan keluar atas persoalan tersebut. Guna mendukung upaya tersebut sangat penting keberadaan basis data dan informasi yang relevan, akurat dan ilmiah. Dalam penulisan ini akan dianalisis dampak pemberlakuan siaga pandemi influenza fase 6 bagi praktik ibadah mahdhah umat muslim. Kemudian, akan didiskusikan konsekuensi-konsekuensi logis dari dampak tersebut secara syari’ah dan upaya untuk mengantisipasinya. 

B.           Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang sebagaimana diuraikan diatas, maka masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana dampak pemberlakuan siaga pandemi influenza fase 6 terhadap praktek ibadah mahdhah umat Islam dari perspektif syari’ah dan bagaimana upaya untuk mengantisipasinya?

C.          Tujuan Penulisan
1.      Memetakan jenis-jenis ibadah mahdhah menurut kategori “ibadah mahdhah sah dalam rumah” dan “ibadah mahdhah sah luar rumah”.
2.      Mengklasifikasikan jenis-jenis ibadah mahdhah yang dapat dikerjakan dan tidak dapat dikerjakan dalam kondisi pemberlakuan siaga pandemi influenza fase 6.
3.      Mengklasifikasikan  ibadah mahdhah yang tidak dapat dikerjakan  dalam kondisi pemberlakuan siaga pandemi influenza fase 6 berdasarkan hukum syari’atnya.
4.      Mendiskusikan bagaimana agar ibadah mahdhah berhukum wajib ‘ain tetap bisa dijalankan oleh umat muslim meski siaga pandemi fase 6 diberlakukan.  

D.          Manfaat Penulisan
Penulisan ini sangat penting terutama sebagai bahan pertimbangan ketika akan memberlakukan siaga pandemi influenza fase 6 di daerah penduduk mayoritas muslim, khususnya pemberlakuan undang-undang karantina rumah, baik bagi pihak pengambil kebijakan, umat muslim maupun pihak-pihak yang berkepentingan (stake holder) dalam pengendalian pandemi influenza.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.          Pandemi Influenza : Definisi, Sejarah, Bahaya dan Respon
1.            Definisi, Sejarah dan Bahaya
Pandemi influenza merupakan wabah penyakit influenza yang menjangkiti penduduk bumi, tidak saja dalam satu negara, namun di berbagai negara, yang berpotensi menimbulkan komplikasi kematian (Komnas FBPI, 2008). Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO), sebagaimana dalam Komnas FBPI (2008), jumlah kasus flu burung pada manusia secara global yaitu 390 orang, dan 246 diantaranya meninggal (CFR: 63,3%). Dari jumlah tersebut, Indonesia memiliki jumlah kasus dan kematian yang besar. Kasus tersebut dapat disebut sebagai “pandemi influenza pada burung” dimana penyebabnya adalah virus H5N1. Lebih lanjut, para ilmuwan mensinyalir bahwa virus tersebut sewaktu-waktu dapat bermutasi, menjadi subtipe baru.






Gambar 1.1.  Para korban keganasana pandemi influenza “Spanish flu” di Amerika Serikat pada tahun 1918. Pandemi influenza “Spanish flu” tersebut tercatat yang terbesar dalam sejarah umat manusia dimana total korban disinyalir mencapai 40-50 juta orang. (sumber: http: //1918. pandemicflu. gov/documents_media/index. htm). yang menular antara manusia ke manusia (WHO, 2005; Kamps, 2006; Mohamad, 2006; Komnas FBPI, 2008; Pemprov dan UNICEF, 2009).

Penularan antara menusia ini dapat memicu terjadinya episenter pendemi influenza yang menimbulkan dampak negatif yang sangat besar keselamatan umat manusia baik di Indonesia maupun dunia (Komnas FBPI, 2008; Pemprov dan UNICEF, 2009). Sejarah umat manusia mencatat bahwa pendemi influenza pernah terjadi pada abad yang lalu berupa tiga peristiwa pandemi influenza yaitu: (a) “Spanish Flu”, akibat penyebaran virus influenza (H5N1) tahun 1918-1919 yang menyebabkan kematian sekitar 40-50 juta orang;  (b) “Asia Flu” akibat penyebaran virus (H2N2) tahun 1957 mengakibatkan kematian sekitar 2-4 juta penduduk; dan (c) “Hongkong Flu”, akibat penyebaran virus (H3N2) pada tahun 1968 yang menyebabkan kematian sekitar 1 juta orang. Namun sulit diprediksi kapan pandemi influenza berikutnya akan terjadi atau subtipe virus influenza apa yang akan menyebabkan pandemi (Kamps, 2006; Komnas FBPI, 2008; Pemprov dan UNICEF, 2009).

2.            Respon Pandemi Influenza di Indonesia: Pengorganisasian, Manajemen dan Skenario
Pada dasarnya, pandemi influenza merupakan suatu bentuk bencana (disaster), namun memiliki keunikan tersendiri, yaitu berskala global, berlangsung lama (berminggu-minggu), muncul dalam beberapa gelombang, berfokus pada manusia (tidak merusak prasarana dan sarana fisik), berpotensi menimbulkan kerusuhan sosial dan kelumpuhan ekonomi yang luar biasa. Pada bencana-bencana lainnya, seperti bencana gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, dll, kejadiannya berlangsung dalam waktu singkat, bersifat lokal, kerusakan lebih bersifat fisikal di samping korban manusia, dan titik berat penanganan lebih banyak ke fase pemulihan atau rehabilitasi (Komnas FBPI, 2008; Pemprov Jateng dan UNICEF, 2009).

Dengan karakteristik di atas, maka upaya pengendalian pandemi influenza memerlukan perangkat organisasi dan manajemen khusus (extra ordinary) mencakup multi sektor. Di Indonesia, pengendalian pandemi influenza berada di bawah koordinasi Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI) yang dibentuk dan ditetapkan menurut Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2006 dengan komposisi anggota dari pejabat lembaga pemerintah dan non pemerintah skala nasional (Komnas FBPI, 2008). Untuk lebih detailnya, lihat lampiran 1. Guna kepentingan identifikasi dan pengendalian terhadap pandemi influenza, Komnas FBPI (2008) telah menyusun tahapan skenario pengendalian yang secara umum merujuk pada skenario yang disusun oleh World Health Organization (WHO). Penjabaran secara detail tentang fase pandemi menurut WHO dapat dilihat pada lampiran 2.

3.            Skenario Siaga Pandemi Influenza Fase 6
Berdasarkan fase pandemi influenza menurut WHO (2005), bahwa fase ke enam dalam skenario siaga pandemi influenza merupakan fase dimana pandemi influenza telah menyebar secara efektif di masyarakat. Pada fase ini tujuan pengendalian diarahkan pada upaya meminimalkan dampak pandemi yang ditempuh, diantaranya, dengan pembatasan ruang gerak dan aktivitas berkumpul masyarakat. Bahkan pada tingkat tertentu, langkah tersebut ditempuh dengan mengisolasi dan mengkarantina penduduk di rumah-rumah. Pemberlakuan karantina tidak saja bagi orang yang telah positif terserang pandemi, namun juga mereka yang tampak sehat tetapi diduga dan atau telah terpapar virus (Komnas FBPI, 2008). Dalam konteks Indonesia, tata cara karantina tersebut merujuk pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah.

4.             Pemberlakuan Karantina Rumah Menurut Syari’ah Islam
Di dalam Al Jazairi (2000), diperoleh informasi bahwa karantina rumah untuk kesehatan diperbolehkan. Hal ini dapat dirujuk dari hadits Rasulullah saw yang artinya sebagai berikut :
Jika penyakit thaun menimpa salah satu daerah dan kalian berada di daerah tersebut, kalian jangan keluar dari padanya. Jika penyakit thaun menimpa salah daerah dan kalian tidak boleh di dalamnya, janganlah kalian memasukinya (Diriwayatkan Muslim).

A.          Ibadah Mahdhah 
1.            Definisi dan Tata Cara
Ibadah mahdhah adalah jenis peribadatan dalam agama Islam dimana tata cara, perincian dan kadarnya telah ditentukan oleh syar’i (pembuat syari’at), yaitu Allah swt. dan Rasul-Nya (Wibowo, dkk., 1995). Ibadah mahdhah ada yang bersifat wajib (wajib ‘ain dan wajib kifayah) dan ada yang bersifat sunnah (sunah muakad dan sunah ghoiru muakad) bagi umat muslim. Ibadah shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadlan, zakat fitrah dan haji merupakan pilar rukun Islam dan wajib hukumnya bagi umat muslim. Di luar itu, shalat sunah, shalat tarawih dan puasa sunnah merupakan ibadah sunah (Syarafuddin, dkk.,1995; Al-Jazairi, 2000). Adapun untuk rincian tata cara ibadah mahdhah dapat dilihat dalam Al-Jazairi (2000).

2.            Ibadah Mahdhah Personal dan Multipersonal
Berdasarkan rincian tata cara ibadah mahdhah sebagaimana dalam Al Jazairi (2000) tampak bahwa terdapat jenis ibadah mahdhah yang sudah mencapai tingkatan sah secara syari’at meski dilakukan secara perseorangan (personal), seperti dalam shalat dan puasa, namun ada pula yang menuntut keterlibatan orang atau pihak lain (multi personal), seperti dalam zakat dan haji (bagi yang mampu).

3.            Ruang Penyelenggaraan Ibadah Mahdhah
Berdasarkan rincian tata cara ibadah mahdhah sebagaimana dalam Al Jazairi (2000) tampak bahwa aspek ruang ada kalanya ikut menentukan tingkat keabsahan ibadah itu sendiri. Misal, penyelenggaraan shalat jum’at tidak sah jika tidak diselenggarakan secara berjama’ah di masjid; pada shalat dua hari raya lebaran diutamakan diselenggarakan di tanah lapangan, sementara untuk shalat sunah rawatib diutamakan diselenggarakan di rumah. Lebih lanjut, untuk ibadah mahdhah zakat dan haji (bagi yang mampu) memiliki cakupan ruang yang lebih luas karena dalam ibadah tersebut mensyaratkan adanya interaksi antar orang atau pihak. Dalam zakat mensyaratkan adanya pihak pemberi dan penerima, mencakup pula panitia zakat (amil zakat). Sementara penyelenggaraan haji, selain harus ada pihak yang hendak berhaji, juga harus ada jasa pemberangkatan dan panitia haji di Makkah itu sendiri.

B.           Pendapat Terdahulu tentang Masalah yang Dikaji
Berdasarkan komunikasi pribadi antara Suzanna (2009) dari lembaga UNICEF dengan Nasruddin dari Tim Tanggap Flu Burung PW Muhammadiyah Jawa Tengah menunjukkan bahwa kajian secara khusus tentang dampak pemberlakuan siaga pandemi influenza terhadap peribadatan umat beragama belum pernah dilakuan. Kajian-kajian seputar antisipasi pemberlakuan pandemi influenza yang sudah dikaji adalah menyangkut bidang keamanan, dunia usaha dan kesejahteraan sosial (Pemprov Jateng dan UNICEF, 2009).






BAB III
METODE PENULISAN

A.          Metode dan Prosedur Penulisan
Penulisan ini menggunakan metode studi literatur dengan prosedur sebagai berikut :
1.            Pengumpulan Data dan Informasi
Data dan informasi diperoleh dari berbagai sumber, yaitu: prosiding lokakarya nasional tentang simulasi respon pandemi influenza di Jateng Februari 2009, jurnal-jurnal ilmiah, buku, website ensiklopedis wikipedia dan website milik lembaga yang intens dengan kajian dan sosialisasi isu pandemi influenza, baik website tingkat nasional maupun internasional.  

2.            Pengolahan Data dan Informasi
a.             Klasifikasi ibadah mahdhah berdasarkan: (a) kelompok ibadah mahdhah yang sudah sah meski dilakukan di dalam rumah, disebut kelompok “ibadah mahdhah sah dalam rumah” atau disingkat IMSDR; dan (b) ibadah mahdhah yang keabsahannya menuntut keterlibatan pihak di luar rumah, disebut kelompok “ibadah mahdhah sah luar rumah” atau disingkat IMSLR. Hal ini dikarenakan pemberlakuan siaga pandemi fase 6 diasumsikan sebagai karantina rumah yang otomatis akan membagi ruang aktivitas seseorang menjadi lingkungan “di dalam rumah” dan “di luar rumah”.
b.            Klasifikasi Ibadah Mahdhah yang dapat dan tidak dapat dikerjakan dalam kondisi siaga pandemi influenza fase 6.
c.             Klasifikasi ibadah mahdhah yang tidak mungkin dilakukan ketika diberlakukan siaga pandemi influenza fase 6 berdasarkan hukum syari’at.

Berdasarkan pada pengklasifikasian di atas, kemudian dianalisis apakah pemberlakuan siaga pandemi influenza fase 6 akan menyebabkan perubahan dalam pola peribadatan mahdhah atau tidak. Jika terjadi perubahan, maka apakah itu masih dapat ditolerir secara syar’i ataukah sudah keluar dari jalur syar’i? Kemudian, akan dikaji apakah perubahan pola peribadatan tersebut juga akan berdampak serius dalam hal status ke-Islaman para pelakunya? Jika akan berdampak serius, maka bagaimana upaya mengantisipasinya.
                                                                                                             
B.           Asumsi
1.            Umat Islam yang dimaksud adalah umat Islam taat yang secara teratur menjalankan ibadah mahdhah dan keutamaan-keutamaan yang menyertainya dan berada di daerah episentrum pandemi influenza status siaga fase 6.
2.            Siaga pandemi influenza fase 6 yang dimaksud adalah pemberlakuan karantina rumah bagi semua penduduk yang berada di daerah episentrum pandemi influenza. Semua kebutuhan hidup penduduk, seperti sandang, pangan, papan dan air, selama status siaga pandemi fase 6 diasumsikan disediakan oleh petugas. 
3.            Lama pemberlakuan status siaga pendemi fase 6 diasumsikan 6 bulan. Sementara dalam waktu 6 bulan tersebut, penduduk diasumsikan sudah memasuki bulan ramadhan dan musim haji dimana terdapat penduduk yang telah siap berangkat haji dan ada pula kelompok penduduk sebagai panitia pengelola zakat fitrah yang telah merencanakan pengelolaan zakat dengan jangkauan distribusi zakat fitrah sampai keluar kota.
BAB  IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A.          Klasifikasi Ibadah “Mahdhah Sah Dalam Rumah” dan “Ibadah Mahdhah Sah Luar Rumah”
Berdasarkan analisis terhadap jenis dan tata cara ibadah mahdhah sebagaimana dalam Al Jazairi (2000), teridentifikasi 25 jenis ibadah mahdhah. Dari 25 jenis ibadah mahdhah tersebut, 10 ibadah mahdhah sah meski diselenggarakan dalam rumah (kelompok “ibadah mahdhah sah dalam rumah” atau disingkat IMSDR), sementara 15 ibadah mahdhah hanya sah jika diselenggarakan dengan melibatkan orang atau pihak di luar rumah (kelompok “ibadah mahdhah sah luar rumah” atau disingkat IMSLR). Perhatikan tabel 2 pada lampiran 3.

B.           Klasifikasi Ibadah Mahdhah yang Dapat dan Tidak Dapat Dikerjakan dalam Kondisi Siaga Pandemi Influenza Fase 6
Pemberlakuan siaga pandemi influenza fase 6 bagi penduduk muslim, yang diasumsikan dengan pemberlakuan karantina rumah, menyebabkan kelompok IMSLR tidak dapat dijalankan. Pada tabel 3, sebagaimana pada lampiran 4, tampak perbandingan ibadah mahdhah yang dapat dilakukan dalam kondisi normal dan setelah diberlakukan siaga pandemi influenza fase 6. Dalam kondisi normal, amalan ibadah mahdhah yang dapat dijalankan sebanyak 25, sementara setelah diberlakukan siaga pandemi influenza fase 6 hanya berjumlah 10. Berarti, bahwa pemberlakuan siaga pandemi influenza fase 6 bagi penduduk muslim telah menyebabkan 15 amalan ibadah mahdhah tidak lagi dapat dilaksanakan. 

C.          Klasifikasi Ibadah Mahdhah yang Tidak dapat Dikerjakan dalam Kondisi Siaga Pandemi Influenza Fase 6 Berdasarkan Hukum Syari’at
Pada tabel 4. sebagaimana dalam lampiran 5, terdaftar 15 jenis amalan IMSLR yang tidak mungkin dilaksanakan karena pemberlakuan siaga pandemi influenza fase 6 (karantina rumah). Dari 15 amalan IMSLR tersebut, 2 amalan berhukum wajib ‘ain; 1 wajib kifayah; 1 wajib ‘ain khusus bagi laki-laki; 7 sunah; 3 sunah muakad; dan    1 wajib ‘ain bagi yang punya harta benda sampai satu nasab. Dengan mengasumsikan bahwa aspek ruhsoh atau keringanan terhadap suatu amalan, tidak dapat sampai menghilangkan amalan ibadah mahdhah, maka konsekuensi syari’at pun berlaku bagi tiap penduduk yang meninggalkan amalan IMSLR tersebut. Pada tabel 5 sebagaimana dalam lampiran 6 menjabarkan hubungan hukum syariat dan konsekuensinya jika ditinggalkan.

Sebagaimana pada tabel 4, pada lampiran 5, terdapat 4 jenis ibadah mahdhah berhukum wajib ‘ain yang tidak mungkin dilaksanakan  saat pemberlakuan siaga pandemi influenza fase 6 (karantina rumah), yaitu zakat fitrah, haji bagi yang mampu, zakat mal bagi yang memiliki harta mencapai 1 nasab dan shalat jum’at bagi laki-laki. Kemudian, berdasarkan tabel 5, sebagaimana pada lampiran 6, seseorang yang meninggalkan amalan berhukum wajib ‘ain akan mendapat dosa, bahkan pada tingkatan tertentu status keislaman orang tersebut dapat dipersoalkan secara syariat (Qardawi, 1988; Wibowo, dkk., 1995; Al Jazairi, 2000). Dengan demikian, pemberlakuan siaga pandemi influenza fase 6 berpotensi menyebabkan umat muslim melakukan dosa, bahkan pada tingkatan tertentu status keislaman mereka dapat dipersoalkan secara syariat.

D.          Diskusi
Pemberlakuan karantina rumah adalah sah menurut syariat Islam, sementara, berdasarkan analisis di atas, hal tersebut juga beresiko menyebabkan umat muslim berdosa karena meninggalkan ibadah mahdhah mahdhah wajib ‘ain. Sehingga, perlu didiskusikan bagaimana agar ibadah mahdhah berhukum wajib ‘ain tetap dapat dikerjakan meskipun karantina rumah dalam siaga  pandemi influenza fase 6 diberlakukan ?
Di antara keempat ibadah mahdhah berhukum wajib ‘ain tersebut, tampaknya amalan wajib shalat jum’at berjamaah bagi laki-laki yang paling krusial. Para ulama dan pakar agama Islam perlu membicarakan apakah shalat jum’at yang mensyaratkan adanya jama’ah di masjid masih relevan dalam kondisi siaga pandemi influenza fase 6 ? Dalam situasi siaga pandemi influenza fase 6, untuk mendatangkan penduduk ke masjid otomatis membutukan perlengkapan khusus yang tidak sederhana. Bagaimana jika shalat jum’at dilakukan di rumah-rumah penduduk?
Ibadah haji diwajibkan bagi umat muslim sekali seumur hidup (Wibowo, dkk., 1995; Al Jazairi, 2000), sehingga ketika siaga pandemi influenza fase 6 diberlakukan, rencana berhaji dapat ditunda sampai pandemi tersebut mereda. Pandemi influenza “spanish flu” berlangsung sekitar dua tahun (1918-1919). Sementara dewasa ini guna pengobatan penyakit karena wabah virus dapat didekati dengan pendekatan farmasi, dengan vaksin. Untuk kasus pandemi influenza dibutuhkan waktu  selama 6 bulan untuk menghasilkan vaksin terhitung sejak virus bersangkutan dapat diisolasi (WHO, 2005; Pemprov dan UNICEF, 2009).

Ibadah zakat mencakup adanya aktivitas interaksi antara pemberi dan penerima zakat, biasanya juga melibatkan panitia amil zakat. Dalam masa karantina rumah, interaksi antara pihak pemberi dan penerima zakat terputus, begitu pun dengan pihak amil zakat. Solusi atas persoalan ini dapat ditempuh dengan membentuk panitia atau amil zakat dengan anggota dari petugas atau aparat keamanan yang dilengkapi dengan alat pengamanan sehingga tidak terinfeksi pandemi influenza. Guna melancarkan komunikasi antar pihak dapat menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Pada musim zakat fitrah, atau ketika dalam penyelenggaraan zakat mal, amil zakat ini diantaranya bertugas mengambil zakat dari satu rumah penduduk, sekaligus mendistribusikannya kepada yang berhak.
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A.           Kesimpulan
Pemberlakuan ketentuan karantina rumah dalam siaga pandemi influenza fase 6 menyebabkan tidak semua ibadah mahdhah dapat dikerjakan oleh umat muslim, termasuk empat jenis ibadah mahdhah berhukum wajib ‘ain, yaitu zakat fitrah, zakat mal, haji dan shalat jum’at.

B.           Rekomendasi
Dalam agama Islam, seorang muslim yang meninggalkan ibadah wajib ‘ain berdosa, bahkan dapat sampai menghilangkan status keislaman yang bersangkutan. Agar empat jenis ibadah mahdhah berhukum wajib ‘ain, yaitu zakat fitrah, zakat mal, haji dan shalat jum’at, masih tetap dapat dijalankan oleh umat muslim, meski dalam masa pemberlakuan karantina rumah dalam siaga pandemi influenza fase 6, maka kami kami mengusulkan gagasan sebagai berikut :

1.      Untuk penyelenggaraan zakat fitrah dan mal, perlu dibentuk panitia amil zakat dari petugas pengendali pandemi influenza. Panitia amil zakat ini bertugas mengambil bahan-bahan zakat penduduk yang tengah dikarantina, sekaligus menditribusikannya kepada yang berhak.
2.      Ibadah haji memang diwajibkan bagi umat muslim, namun sekali seumur hidup. Sehingga ketika siaga pandemi influenza fase 6 diberlakukan, rencana berhaji dapat ditunda sampai pandemi tersebut mereda.
3.      Terkait shalat jum’at, para ulama dan pakar agama Islam perlu membicarakan apakah shalat jum’at yang mensyaratkan adanya jama’ah di masjid masih relevan dalam kondisi siaga pandemi influenza fase 6?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar