Rabu, 18 Januari 2012

Mahasiswa “manja” agen perubahan



agen perubahan, paradigma yang melekat pada diri mahasiswa tidak akan pernah pudar sampai kapanpun karena dalam diri mereka intektual dan semangt untuk melakukan perubahan akan terus melekat dan tidak akan bisa dipisahkan oleh dimensi ruang dan waktu. Ini merupakan fakta yang tak terbantahkan, semangat revolusi yang ada pada diri mahasiwa membawa perubahan yang sangat setnifikan lihat saja semua revolusi di belahan dunia di pelopori oleh mahasiswa, revolusi Libya dulu dan sekarang, revolusi prancis, revolusi iran bahkan kemerdekaan republic Indonesia dipelopori oleh kaum mahasiswa, mungkin kita berfikir itu hanya sejarah masa lampau yang tak akan teulang lagi. Tapi itu salah besar bagaimana reformasi 1998, dan maraknya demontran di timur tengah merupakan bukti nyata bahwa perjuangan mahasiswa terus ada, bahkan belum hilang dalam ingatan kita bagaiman seorang mahasiswa (Sondang Hutagalung) membakar dirinya di depan istana presiden itu merupakan symbol perlawanan tertinggi yang di persembahkan oleh darah juang mahasiswa.

Bagaimana dengan kata mahasiswa manja, yang suka meminta dan menghabiskan uang kiraman orang tua mereka? mahasiswa yang kerjanya kuliah pulang- kuliah pulang alias mahasiswa kupu-kupu?  Mahasiswa yang kerjaannya nongkrong dan shoping di mall-mall (hidonesme)? Mereka semua mungkin belum tersadarkan atau mungkin mereka punya cara tersendiri melalukan perjuangan, mereka yang suka menerima kiriman dari orang tua mereka itu wajar karena itu sudah menjadi hak dan kewajiban. Itu merupakan realitas social yang disebabkan oleh budaya moderenitas.
Lebel mahasiswa sekarang identik dengan mahasiswa manja itu belum terbukti, belum ada penelitian yang valit dan bias di pertanggung jawabkan keshahihannya. Bila diukur dari output / setelah mereka wisuda dan belum mampu bersaing didunia kerja atau menciptakan lapangan pekerjaan, jangan salahkan produk tapi salahkan perusahaan yang membuatnya. Jelas mahasiswa sudah menerimah pendidikan yang baik, tapi sudahkah perguruan tinggi meproses mereka dengan baik sehingga menghasilkan produk-produk yang berkualitas?. Janganlah kita melihat dari outputnya saja tapi lihat juga input dan prosesnya, apakah sudah benar sesuai dengan kurikulum yang dicanangkan atau belum. Jelas siapa yang salah disini, lembaga-lembaga pendidikan belum siap untuk menciptakan manusia Indonesia yang berkualitas, lihat saja forum rector dari pada menggagas atau mengkonsep pendidikan yang memanusiakan manusia mereka lebih senang berkomentar tentang perpolitkan, perekonomian dll, masih segar dalam ingatan kita bagaiman forum rector berkomentar tentang kebohongan public yang dilontarkan oleh forum keagamaan tantang kebohongan pemerintahan SBY-Budi, kasus suap, gayus, sentury dll.

Bung karno perna berkata : “ bawakan akau seribu orang tua aku akan sanggup memindahkan sebuah gunung, dan bawakan kepadaku sepuluh pemuda maka akau sanggup merubah dunia”.

pengaruh neo-moderenisme terhadap pemahaman keagamaan


PENDAHULUA
a.       Latar belakang masalah
Agama-agama besar di muka bumi ini senantiasa didatangkan untuk menyingkapi berbagai permasalahan yang diderita ummat manusia, mencari jawaban atasnya. Masyarakat terus bergerak, karena akumulasi persoalab dan tantangan yang juga terus-menerus bergerak dan bertambah. Pada titik ini, kaum agamawan dituntut tanggung jawabanya dalam antisipasi jawaban yang mungkin cocok dengan konteks khusus yang melatarinya ( schumam, 1993; Ali, 2006, 9).
Islam adalah salah satu agama besar di muka bumi ini yang telah, sedang dan akan terus mencoba bergelumul dengan permasalahan-permasalahan kemanusiaan kontemporer. Sebagai wahyu yang di turunkan oleh Allah kepada Rasul-rasul-Nya untuk disampaikan kepada ummat manusia, sepanjang masa dan setiap persada. Islam adalah satu. Namun, ketika islam telah membumi maka pemahaman dan ekspresi ummat islam beragam.  Keraman itu muncul sejak priode klasik hingga kontemporer. Perkembangan pemikiran teologi ummat islam pada priode klasik sepaerti munculnya aliran-aliran teologi dalam islam; khawarij, murji’ah, mu’tazilah, qodiriyah, jabariyah dan ahli sunnah wal jama’ah (Ali, 2006, 10).
Saat ini islam telah dipeluk oleh miliyaran manusia di seluruh belahan dunia, termasuk di belahan bumi nusantara; Indonesia. Indonesia adalah kawasan dunia islam yang unik; meski mengenal islam paliang belakangan dan secara geografis berada jauh dari pusat islam; timut tenganh, tetapi  Indonesia adalah tempat kosentrasi umat islam terbesar di dunia. 
Pembaharuan islam di bumi nusantara sangat cepat, dan pembaharuan islam di nusantara menurut Azra; pembaharuan islam nusantara di mulai sejak abad ke 17 dan abad ke 18. Era ini dimotori oleh para ulama seperti yusuf al-maqasari dll. Isu utama yandi gelindingkan adalah tentang neo-sufisme; sebuah usaha mengintegrasikan praktek tasawuf dalam bingkai fikih islam. Pada masa penjajaha belanda gerakan islam cenderung mengambil jarak dengan penjajah ( kekuasaan)nuntuk tidak menyebut oposisi, dan memilih gerakan cultural. Sedangkan pada penjajahan jepang, jepang berusaha menarik lokomotif gerakan islam ke pusaran perpolitikan. Puncak pergelutan politik “santri” dan “sekuler” adalah sidang BPUPKI dan majelas konstituante dalam perbincangan tentang dasar Negara ( ma’arif; 1989).
Usaha pembaharuan islam kembali terjadi pada era orde baru tahun 1970-an mengkonsolidasikan kekuasaan dibawa paying idologi pembangunan atau modernisasi, yang di motori oleh nurkholis majid cak nur. Yang akar pemikirannya mengantarkan ummat merambah jalan baru islam, yaitu jalur cultural. Pilihan cultural ini membangkaitkan gairah para intelektualisme islam baru. Belakangan di identifikasiakan sebagai gagasan islam neo-modernisme atau islam libral (Ali,2006, 12).
Focus pembahasan pada makalah ini adalah:
a.      Modernisme, neo-modernisme dan posmodernisme, Barat dan Islam
b.      Pengaruh neo-modernisme terhadap pemahaman keagamaan.
Pembahasan
A.    Modernisme, neo-modernisme dan posmodernisme, Barat dan Islam
1.      Pengertian neo moderenisme
Term neo-Modernisme Islam dipopulerkan oleh Fazlur Rahman—intelektual Islam berkebangsaan Pakistan—yang dimaksudkan untuk menamai sebuah gerakan intelektual yang memiliki sintesis progresif dari rasionalitas Modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik. Dalam menjelaskan posisi neo-Modernisme Islam dalam sejarah dan wacana Islam, Rahman mengklasifikasi dan membagi gerakan intelektual Islam ke dalam empat tahap dan posisi,(1) Gerakan Revivalis di akhir abad ke 18 dan awal abad 19 (seperti gerakan Wahabiayah di Arab) (2) Gerakan Modernis (tokoh-tokohnya antara lain Sayyid Ahmad Khan, Jamal al-Din al-Afgani, dan Muhammad Abduh) (3) Neo-Revivalisme (yang “modern” tapi agak reaksioner, di mana Maududi dan jama’at Islami-nya di Pakistan merupakan contoh terbaik), dan terahir (4) Neo-Modernisme di mana Rahman sendiri memasukkan dirinya ke dalam mazhab terahir ini.
 Istilah neo-Modernisme kemudian digunakan oleh Greg Barton dalam bukunya Gagasan Islam Liberal di Indonesia untuk menamai gerakan inetelektual baru Islam Indonesia di era 70-an dan 80-an serta memasukkan Caknur dan Gusdur ke dalamnya. Barton melihat gagasan-gagasan intelektual baru selaras dan setingkat dengan pikiran Rahman yang ia sebut neo-Modernisme. Selain itu, Barton melihat perbedaan-perbedaan mendasar dari intelektual baru dengan modernisme lama, terutama dalam sintesa-sintesa progresif dari dialog antara Islam, tradisi, dan modernitas. Karena itu istilah neo-Modernisme, oleh Barton, juga digunakan untuk membedakan intelektual baru dengan Modernisme lama.


2.      Modernisme barat
Kalau kita lihat dalam sejarah kemodernan barat, ada semacam perjuangan gerakan kebangkitan untuk memperbaiki agama pada abad pertengahan oleh sejumlah pejuang kemanusiaan yakni para filosof. Akan tetapi dalam perkembangan sejarahnya, barat berupaya untuk menghapus sisi-sisi sebab dari keberhasilannya, yakni sebab tersebut adalah mempelajari segala pengetahuan dari para sarjana muslim. Maka dari itu tentu saja posisi yang dipegangi oleh barat terhadap pertumbuhannya yang khas ini memiliki pengaruh yang sangat dholim terhadap konsep sejarah bagi peradaban Islam. Akibatnya adalah bahwa hingga masa kini, sedikit sekali pemikir dan ilmuwan arab muslim yang dirujuk.
Jika orang ingin berupaya untuk memahami kaitan antara Islam dan modernism maka tentu saja ia harus mengetahui modernism secara mendasar, dan bukanlah mengetahui modernism dalam kacamata barat. Karena pada hakikatnya modernism pada awalnya tumbuh di dunia Arab. Para sejarawan jika ingin merujuk kepada rentetan perkembangan pemikirannya, ia hanya mengambil garis lurus kepada Yunani-Romawi dan kitab suci atau Bible dan langsung menuju Barat, yang mana sudah pasti telah melampaui periode historis abad ke-7 dan 8 yang mana pada waktu itu dunia timur tengah atau Islam yang jauh lebih berperan.
Dari praktek-praktek tersebutlah muncullah kebencian-kebencian terhadap Arab-Muslim, yang mana pihak Barat hanya mengungkap modernism yang aktif tersebut hanya dilihat dari aspek sejarah mereka saja. Sehingga muncullah pertentangan-pertentangan dialog dari pihak Arab-Muslim khususnya di Aljazair, yang menyatakan bahwa sesungguhnya geraan modernism barat pada dasarnya berasal dari kiprah para sarjana muslim pada zaman kejayaan islam. Mereka juga mengataka bahwa ideology-ideologi Barat seperti benih revolusi sosial di Perancis, dan benih demokrasi sesungguhnya telah teralisasi lebih dahulu dalam kaidah-kaidah sejarah umat muslim yang diusung pada zaman sahabat dan seterusnya.
3.      Modernisme islam
Pada hakikatnya pembaruan-pembaruan yang dimiliki oleh barat ini diawali dari keadaan yang terpuruk, meneliti dan bangkit, ilmu etnosentris pastinya dapat membedakannya yakni manakala mereka masih bersifat primitive sampai menuju perkembangannya yang pesat. Demikian pula hal tersebut telah dialami oleh kaum Arab terdahulu, dari zaman kejahiliyahan menuju keemasan berkat beberapa faktor pendukung. Padahal sebelum masyarakat arab jaya, ada dua imperium besar terdekat yang bisa saja menjajah jazirah arab pada masa itu, yakni imperium Babilonia dan Byzantium, akan tetapi jazirah arab diabaikan saja oleh keduanya dikarenakan hanya sebuah padang pasir yang primitive dan hamper tidak ditemukan manfaat-manfaat di dalamnya. Akan tetapi siapa sangka dari keterpurukannya masyarakat Arab dapat bangkit dan pernah memimpin dunia. Maka seperti itulah yang dialami oleh barat.
Jika isyarat-isyarat tersebut memanglah benar, maka tak dapat tidak kita mesti mengakui bahwa modernism layak dinyatakan sebagai tahapan Islam-Arab sebagaimana ia juga merupakan tahapan Kristen-Barat. Malah justru dengan adanya kesamaan ini, modernism bisa dipandangan sebagai kekuatan pemersatu, bukannya pembeda dan pemecah belah. Islam Kemarin dan Hari Esok, M. Arkoun dan Louis Gardet (Bandung: Pustaka, 1997) Hal: 119-120.Sehingga perlu dari sebagian pemikir kita untuk meluruskan pemaknaan dari modernism itu sendiri, karena faktanya maodernisme itu ada yang bersifat pemikiran dan ada juga yang bersifat materialism seperti majunya industrialisme. Arkoun juga memberikan pandangan bahwa modernism material adalah kegiatan perbaikan-perbaika yang memasuki kerangka eksternal eksistensi manusia. Sedangkan modernism pemikiran adalah mencakup metode, atau alata berfikir dan sikap rasional yang mempercayai rasionalitas yang lebih sesuai dengan realitas.
Selain itu, Arkoun juga mengklasifikasikan Islam ke dalam tiga tahapan, yakni Islam sebagai agama kekuatan, Islam sebagai agama bentuk dan islam sebagai agama individu. Agama beroperasi pada awalnya pada individu dan masyarakat dengan keseluruhan kekuatan yang berpengaruh dan aktif dalam kehidupan manusia, yakni dengan adanya aspek keimanan manusia yang terkait dengan kesakralan agama, lalu bangunan agama kekuatan berubah menjadi symbol-simbol seperti bahasa, budaya dan lainnya. Al-Qur’an contohnya, yang memberikan banyak gambaran baik itu berisfat cerita-cerita kesejarahan maupun tentang manusia dan alam semesta. Al-Qur’an menjabarkan pandangan lintas sejarah dan lintas waktu. Intinya agama kekuatan memberikan suatu sifat yang tak habis dimakan waktu atau mampu menjawab tantangan kesulitan sejarah. Sehingga agama kekuatan telah meninggalkan tradisi-tradisi yang sarat dengan nilai-nilai doa, ritus-ritus, mitologi dan lainnya.
Lalu kita juga bisa mendapati bahwa pada hakikatnya dalam agama-agama wahyu layaknya islam, Yahudi dan Kristen telah memiliki suatu identitas tersendiri yang notabene juga menjaga kesucian dalam kelestariannya, identitas tersebut semisal kita contohkan pada islam yakni tauhid. Maka seperti itulah agama bentuk, ada sebuah ciri yang menjadi label dari agama tersebut. Tauhid menjadi cirri khas yang mutlak di dalam islam yang mana tidak dipungkiri lagi tidak mampu untuk dijangkau oleh kekuatan-kekuatan manipulasi sejarah, sehingga tauhid mampu hidup independen. Dengan demikian kita lihat bagaimana pertimbangan-pertimbangan ini menguatkan perlunya peninjauan kembali nilai wujud Islam dalam sejarah masyarakat modern. Karena selain selain unsur syahadat/tauhid, islam juga memiliki persepsi-persepsi gaya hidup, akhlak, seni, budaya, geografis dan lainnya yang jelas tampak untuk kita lihat. Islam Kemarin dan Hari Esok, M. Arkoun dan Louis Gardet (Bandung: Pustaka, 1997) Hal: 139-141
Sebenarnya bukanlah dikatakan bahwa Islam hanya melulu bersifat tradisional karena hanya dilihat dari pemikiran tradisionalnya dan melupakan ilmu-ilmu humaniora di dalamnya. Akan tetapi pada faktanya hal ini begitu diyakini karena pemikiran barat yang telah mengupayakan keterpisahan antara ideology agama yang bersifat spiritual dan ilmu-ilmu humaniora yang mereka klaim bersifat scientific.
Sebelum munculnya pemisahan ini, kehidupan agama menemukan lapangan lestari di mana ia telah berkecimpung di dalam jaringan yang luas dalam hal-hal ilmu humaniora, seperti contohnya hubungan lingkungan dan moral ekonomi, kegiatan industry kecil dan seni, system pendidikan dan lain sebagai
Sedikitnya ada tiga persoalan mendasar yang telah menyita perhatian umat islam indonesaia sejak abad ke20; respon terhadap budaya local, konsen aqidah dan amalaiah islam dan akomodasi dengan pemikiran dan teknologi modern ( Federspiel, 1996v). berbagai tantangan yang menghadang grak laju islam di Indonesia pada akhirnya mampu diatasi. Dalam garis besarnya dapat di gambarkan sebagai kebangkitan, pembaharuan bahkan renaissance atau pencerahan Ali, 2006, 24).
Gerakan moderenisme atau pembaharuan islam hanya salah satu potret wajah Indonesia pada permulaan abad ke-20. Karena priode ini secara umum sering disebut zaman bergerak atau era kebangkitan Nasional. Sebagaiman yang dikatakan oleh ( Federspiel, ) dinamika itu merupakan respon kreatif dan aspresiasi terhadap budaya local ( tradisi), konsen aqidah dan amaliah islam ( islam ortodok) dan akomodasi ilmu dan teknologi modern. Hamper seluruh organisasi dan gerakan islam ( kaum santri) menekankan ortodoksi islam, sedangkan kaum ‘nasonalis’ ( abangan) terbelah kedalam dua orientasi budaya : trdisional dan kemodernan.
Puncak perdebatan diantara kedua kubu antara kebudayaan timur tradisional vis a vis kebudayaan  barat modern pada tahun 1930-an yang kemudian dikenal dengan “ polemic kebudayaan”, di satu sisi St. Takdir Alisjahbana sangat apresiatif terhadap budaya dan sekolah model barat sebab ia memuat unsure-unsur yang dinamis semangat intlektualitas, egois, individualis dan materialis ( dalam makna yang selus-luasnya). Disisi lain Ki Hajar dewantara, Adinegoro lebih mengedepankan budaya timur dan pesantren sebagi basis Indonesia kedepan karena alasanya orisinilitas dan kemampuaannya telah terbukti dan teruji oleh sejarah dalam mengintegrasikan masyarakat ( Mihardja, 1986,; 45).
4.      Postmodernisme
Postmodernisme adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernisme-nya. Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuat teori, namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal. Banyak tokoh-tokoh yang memberikan arti postmodernisme sebagai kelanjutan dari modernisme. Namun kelanjutan itu menjadi sangat beragam. Bagi Lyotard dan Geldner, modernisme adalah pemutusan secara total dari modernisme. Bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard, bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teoriBagi David Graffin, Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari moderinisme. Lalu bagi Giddens, itu adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Yang terakhir, bagi Habermas, merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai.
Postmodernisme seiring berjalannnya waktu dianggap sebagai suatu aliran pemikiran yang itu menjadi paradigma baru sebagai antitesis akan modernisme yang dinilai gagak mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur dalam kehidupan bermasyarakat itu sendiri. Istilah ini pertama kali dilontarkan oleh Arnold Toynbee pada tahun 1939. Postmodernis muncul karena dilatar belakangi oleh kegagalan aliran modernis dalam menciptakan kesejahteraan melalui teknologi, sains,dan lain-lain. Aliran ini mengandung kritik tajam atas semua jenis epistimologi. Menurut postmodernisme, tidak ada satu hal yang bersifat permanen dan universal.
Postmodernisme dibedakan dengan postmodernitas, jika postmodernisme lebih menunjuk pada konsep berpikir. Sedangkan postmodernitas lebih menunjuk pada situasi dan tata sosial sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara dan bangsa serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Hal ini secara singkat sebenarnya ingin menghargai faktor lain (tradisi, spiritualitas) yang dihilangkan oleh rasionalisme, strukturalisme dan sekularisme.
Setidaknya kita melihat dalam bidang kebudayaan yang diajukan Frederic Jameson, bahwa postmodernisme bukan kritik satu bidang saja, namun semua bidang yang termasuk dalam budaya. Ciri pemikiran di era postmodern ini adalah pluralitas berpikir dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya. Postmodernisme menolak arogansi dari setiap teori, sebab setiap teori punya tolak pikir masing-masing dan hal itu berguna.

5.      Neo-Modernisme Islam
      Neo-modernisme islam merupakan pra syarat untuk terjadinya renaisans islam, tandas fahlur rahman (1985). Ini dijelaskan oleh muridnya yang merupakan tokoh intelektual muslim terkemuka di Indonesia, ahmad syafi’I maarif (1994, 138) dia menegaskan bahwa yang dimaksud dengan neo-modernisme islam adalah tidak lain dari modenisme islam plus metodologi yang mantab dan benar untuk memahami Al-Qur’an dan Assunnah Nabi dalam prespektif sosio-historis.
      Dengan demikian, neo modernism islam di satu sisi merupakan kritik atas islam modernis terutama berkaitan dengan keenganannya memanfaatkan khasanah budaya local. Di sisi lain, ia merupakan usaha revitalisasi islam modernis. Apabilah islam modernism mau dan mampu meramu khasanah klasik dan kearifan loka ( budaya local) dalam semangat rasionalitas, tentu akan menjadi kekuatan islam yang sesungguhnya. Bertiktik tolak dari sudut pandang neo-modernisme islam, budhy munawar-rahman ( 2004;437-490) berusaha mmembedakan peta bumi intelektualisme islam Indonesia yang secara epistimologis diklarifikasikan menjadi tiga bentukpemikiran; “ islam peradaban” ala cak nurdan kontowijoyo, “islam Rasional” ala harun nasution dan djohan effendi dan “islam transformative” ala dawam rahardjo dan adi sasono.
Di sisi lain, fachry ali dan bahtiar effendi (1992;175) memahami neomodernisme dalam konteks keindonsiaan. Menurut mereka istilah itu mengacu pada pola pemikiran yang berusaha menyatukan dua kekuatan besar, yaitu modernism ala muhammadiyah dan tradisionalsime  ala nahdatul ulama, sehingga menjadi produk baru yang berlainandengan dua pola pemikiran sebelumnya. Sebab neo modernisme islam bersedia mengakomodasikan ide-ide modernis yang paling maju dan yang paling tradisional sekaligus.
Pergerakan islam saat ini bias didiskripsikan sebagai menjadi dua pola perkembangan/ pemikiran pokok yang pertama islam tradisional dan islam moderns. Islam tradisional melahirkan islam neotradisional dan tradisionalisme radikal. Karena ketidak puasan terhadap islam tradisional dan neo tradisional maka munculah antitesa dari keduanya yaitu islam posttradisionalisme. Noe-tradisionalisme = islam liberal. Sedangkan islam modern melahirkan tiga pemikiran yaitu neo-modernis, islam transformative dan fundamentalis salafi. Neomodernisme = islam liberal perkawinan keduanya akan menghsilakan sekolerisme. Neomodernisme juga melahirkan islam pos-puritanisme. Islam transformative atau bias juga disebut islam puritan. Karena perkembangannya islam puritan tidak bias menjawab tantangan zaman maka muncullah / melahirkan antitesa yaitu islam pos-puritanisme. Islam fundamentalisme melahirkan neo-fundamentalisme islam ( ada dua golongan : adabtif dan ortodoks; akan muncul kekerasan atas nama agama).
Jadi dari rahim islam tradisionalisme lahairlah islam neo-tradisionalisme ( pembaharuan tradisi, yaitu sebuah usaha pembaharuan yang menggunakan tradisi sebagai pintu masuknya. Dengan cara mengkemas menjadi sebuah potensi yang dapat mendorng kemajuan), yang dipelopori oleh gus dur dkk. Dan tradisonalisme radikal yang didukung oleh sejumlah kyai pesantren. Neo- Tradisionalisme membuka jalan bagi munculnya post-tradisionlalisme islam, sedangkan tradisionalaisme radikal menumbuhkan corak keagamaan neo-tradisionalisme radikal sebagi antitesa post-tradisionlisme islam.
Di sisi lain, dalam tubuh islam modern juga muncul atau berkembang beragam pemikiran yang secara garis besarnya dapat dipetakan menjadi tiga yaitu Neo-Modernisme, ahmad syafi’I maarif.  islam transformative ( islam kiri), moeslim Abdurrahman dan islam salafi radikal ( bercorak islam puritan). Neo modernism islam dan islam transformative melahirkan generasi islam liberal yang corak pemikirannya bercorak post-puritanisme ( semangat untuk mengkritisi dan menyegarkan kembali proses purifikasi dan dinamisasi yang dilakukan oleh moderenisme islam awal. Ada sebuah usaha untuk melihat permasalahan tradisi dan budaya local melalui  kultur bukan pendekatan aqidah)pendekatan , dan salafi radikal memunculkan neo salafiah. Kemunculan islam liberal banya ditentang dan memperoleh perlawanan yang gigih dari kaum neo- tradisionalisme radikal dan neo-salafiah radikal karena dalam pandangan mereka, usaha liberalisasi pemikiran dapat merusak islam itu sendiri.

1.      Karakteristik Pemikiran Barat ( Neo-Modernisme )
Dari akar pemikiran barat di atas maka dapat ditarik garis merah bahwa karakteristik pemikiran barat adalah sebagai berikut :
a.     Mempunyai Kecendrungan Sekularis-Rasional, Bukan Religius-Tekstual
b.     lebih condong dekat ke empirisisme, rasionalisme, realisme, materialistis, membangun peradaban dan menyebarkan risalah dunia (Alexandria).[1]
c.     Bahasa pemikiran barat adalah bahasa rasional murni, jelas, dan mudah dipahami dari kandungan bahasanya
d.    pembentukan adalah segala-galanya,. Karenanya di dalam kesadaran Eropa proses lebih dominan dari pada wujud, perubahan lebih dominan dari pada ketetapan, realitas lebih dominan dari pada ideal
e.     Menggunakan konsep kebebasan berfikir dan memisahkan antara sosialisme dengan agama
f.      Ilmu adalah value-free (bebas nilai)
g.     Yahudi dan Kristen Sebegai akar pemikiran barat menyimpan rasa (motif) permusuhan dengan umat Islam[2]

A.    Bagaimana Pengaruh Pandangan barat terhadap umat agama Islam dalam memahami agamanya
Sekulerisasi menrupakan fenomena khas dalam dunia Kristen. Menurut bernad lewis, pemikir politik yang paling berpengaruh di amerika serikat sesudah berakhirnya perang dingin, “ sejak awal mula, kaum Kristen diajarkan—baik dalam persepsi maupun praktis—untuk memisahkan antara tuhan dan kaisar dan dipahamkan tentang adanya kewajiban yang berbeda antara keduamua”.[3]lebih lanjut leeuwen mencatat, penyebaran Kristen dieropa membawa pesan sekulerisasi. Kata leeuwen, “ kristenisasi dan sekulerisasi terlibar bersama dalam hubungan dialektikal.” Maka, menurutnya, persebtuhan antara sekuler barat de3ngan kultur trasisional relegius di timur tengah dan asia, adalah  bermulanya babak baru dalam sejarah sekulerisasi, sebab kultur sekuler adalah hadiah Kristen kepada dunia.[4]
Pandangan lewis dan leeuwen merupakan babak baru dalam sejarah peradaban barat, di mana kekristenan telah mengalami tekanan berat, sehingga berupaya memperkecil dan membatasi wilayah otoritasnya. Gereja dipaksa menjadi sekuler, dengan melepas wilayah otoritasnya dalam dunia politik. Dalam sejarah Kristen erofa, kata secular dan liberal dimaknai sebagai pembebasan masyarakat dari cengkraman kekuasaan gereja, yang sangat kuat hegemoninya di zaman pertengahan.[5]
            Mengapa barat kemudian memilih jalan hidup sekuler libral? Setidaknya ada tiga factor yang melatarbelakangi mengapa barat memilih jalan hidup sekuler liberal dan kemudian mengglobalkan pandangan hidup dan nilai-nilainya keseluruh dunia, termasuk di dunia islam. Pertama, trauma sejarah, khsusnya yang berhubungan dengan dominasi agama Kristen dizaman pertengahann. Kedua, problematika teks bible. Dan yang ketiga, problema teologis Kristen. Ketiga proplema itu terkait satu dengan yang lainsehingga memunculkan siakp traumatis terhadap agam, yang pada ujungnya melahirkan sikap berpikir sekuler-lebral dalam sejarah tradisi pemikiran barat. [6]
Jauh sebelum bernerd lewis dan muridnya, Samuel p. Huntington rajinmengangkat isu “the clash of civilization” yang makin hari arahnya makin jelas menghadap-hadapkan barat dan islam, sebenarnya kajian tentang peradaban barat sudah lama berkembang di kalangan ilmuan muslim. Abul hasan ali an-nadwi,Muhammad asad, Muhammad iqbal, abul a’la maududi, sayyid qutb, dan banyak lagi, telah memberikan kritikan analisis tajam tentang karakteristikperadaban barat.
Peradaban barat, menurut pemikir muslim yang terkenal asal india, abul hasan ali an-nadwi, adalah kelanjutan peradaban yunani dan romawi yang telah mewariskan kebudayaan politik, pemikiran, dan kebudayaan. Kebudayaan yunani yang menjadi inti kebudayaan barat, memiliki sejumlah “keistimewaan”, yaitu: (1) kepercyaan yang berlebihan terhadapkemampuan panca indera dengan meremehkan hal-hal yang di luar panca indera, (2) kelangkaan rasa keagamaan dan kerohanian, (3) sangat menjunjung tinggi kehidupan duniawi dan menaruh perhatian yang berkelebihan terhadap mamfaat dfan kenikmatan hidup, dan (4) memiliki kebanggaan “patriotism”. Semua itu dapat diringkas dalam satu kata, “materialism”. Peradaban romawi yang menggantikan peradaban yunani memiliki keunggulan dalam hal kekuatan, tata pemerintahan, luasnya wilayah, dan sifat-sifat kemiliteran. Romawi kemudian mewarisi peradaban yunani sampai ke akar-akarnya, sehingga bangsa romawi tidak lagi beda dengan bangsa yunani dalam karakteristik dasar. Keduanya memiliki kesamaan besar: mengagungkan hal nduniawi, skeptic terhadap agama, lemah iman,merehkan najaran dan praktek keagamaan, fanatic kebangsaan, serta patriotism yang berlebihan. Sejak semula mereka telah mengembangkan paham sekuralisme yang menganggap tuhan tidak berhak memasuki urusan politik maupun urusan keduniaan lainya.[7]
Muahammad asad (Leopold weiss) mencatat, peradaban barat modern hanya mengakui penyerahan manusia kepada tuntutan-tuntutan ekonomi, social, dan kebangsaan. Tuhan mereka yang sebenarnya bukanlah kebahagiaan spiritual melainkan keenakan, kenimatan duniawi. Mereka mewarisi watak nafsu untuk berkuasa dari peradaban romawi kuno. Konsep “keadilan” bagi romawi, adalah “keadilan” bagi orang-orang romawi saja. Sikap semacam itu hanya mungkin terjadi dalam peradaban yang berdasarkan pada konsepsi hidup yang sama sekali materealistik. Asad menilai, sumabangan agama Kristen terhadap peradaban barat sangalah kecil. Bahkan saripati peradaban barat itu sendiri sebenarnya irreligious.
(….so characteristic of modern western civilization, is as unacceptable to Christianity as it is to islam or any other religion, because it is irreligious in its very essence).[8]
 Sayyid Qutb juga dikenal sangat kritis terhadap barat, terutama setelah berkunjung ke amerika tahun 1948-1950. Disana qutb belajar tentang metode pendidiksn barat (western methods of education). Pengalamanya yang lebih dua tahun di amerika itu, tampaknya menjadi “titik baik” yang penting dalam hidupnya. Ia kemudian menjadi kritikus barat yang ingin dan sekembalinya ke mesir pada 1952, ia bergabung dengan alikhwanul muslim. Qutb juga sangat dikenal sangat menekankan bahaya perang pemikiran. Dia menulis,
“ para pendjajah dewasa ini tidak mengalahkan kitka dengan senjata dan kekuatan, tetapi melalui orang-orang kita yang telah terjajah juwa dan fikirannya. Kita dikalahkan oleh dampak yang ditinggalkan oleh para imperialis pada departemen pendidikan dan pengajaran, juga di pers serta buku-buku. Kita kalah oleh pena-pena yang tenggelam dalam tintah kehinaan dan jiwa yang kerdil, sehingga pena-pena itu  hanya bangga jika menulis tentang para pembesar prancis, inggris dan amerika.”[9]
Kritik-kritik para sarjana Muslim terkenal itu dikemukakan jauh sebelum perang dingin usai, dimana secara politis, dunia barat masih melakukan kerjasama dengan Negara-negara muslim untuk menghadapi musuh utama mereka, yaitu komunisme. Mereka melakukan kajian terhadap peradaban barat bukan karena kepentingan politik tetapi berusaha menyelami hakekat peradaban antara peradaban islam dan barat. Diantara mereka muncul cendikiawan terkemuka kelahiran bogor jawa barat, bernama syed Muhammadd Naquib al-attas. Dia mengumngkapkan pandangan yang lebih sistematis, filosofis, dan mendasartentang barat. Ia mengungkapkan, karena adanya perbedaan yang sangat fundamental antara peradaban bart dan peradaban islam, makan apa yang sesungguhnya terjadi disebutnya sebagai satu kondisi “ permanent confrontatioan” (konfrintasi permanen)atau konpik abadi.
Al-attas menghimbau agas kaum muslimin tidak alpa dan terlena dalam mengemban tugasnya sebagi umat islam. Umat islam tidak seharusnya secara bulat-bulat menerima dan mengharapkan yang sia-sia bantuan dan kerjasama serta persahabatan yang ikhlas dari yang lain. Ia mengajak umat islam merenungkan makna firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 120;
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”




Diingatkan pula oleh al-attas dengan  yang bahasa lugas

“Bukankah dizaman kita ini pun jelas bahwa orang-orang yahudi dan Kristen –yang keduanya menjelmakan sifat asasi kebudayaan barat—memang tidak rela menerima baik seruan islam dan kaum muslimin, melainkan kita jua dikehendaki mereka mengikuti cara agamanya?—menganut sikap hidup yang berdasarkan semata-mata keutamaan, kebendaan, kenegaraan dan keduniawian.
Dan agama dijadikanya hanya sebagi alat bagi melayani hawa nafsu. Bukankah ilmu yang sebenarnya sudah sampai kepada kita? Maka mengapa pula kita membiarkan sahaj nasib umat kita dipimpin oleh pemimpin-pemimpin politik, kebudayaan dan ilmu pengetahuan dan juga ulama yang lemah dan palsu yang sebenarnya tiada sadar bahwa mereka sedang mengotori hawa nafsu kebudayaan barat.
Mereka membayangi kebudayaan barat dalam cara berfikir, dalam sikap beragama, dalam memahami nilai-nilai kebudayaan dan mengelirukan faham serta tujuan ilmu. Kepada kebudyaan baratkah akan kita berlindung, akan kita memohon pertolongan, yang akan mencegah tindak balasan Allah kelak? Waspadalh saudarahku muslimin sekalian”[10]
           
Saat ini, metode-metode filsafat bukan hanya digunakan untuk pengembangan ilmu-ilmu eksakta, tetapi ia juga digunakan sebagai pisau analisis untuk mengkaji berbagai cabang keilmuan lainnya, termasuk berbagai studi tentang agama. Inilah yang dilakukan oleh para orientalis dalam setiap kajian mereka tentang masyarakat timur, baik yang berkenaan dengan budaya maupun agama. Satu hal yang cukup berbahaya serta menodai objektivitas ilmu adalah ketika studi yang dikembangkan ini tidak hanya bertujuan untuk berkhidmah pada ilmu, tetapi telah disusupi kepentingan politik seperti imperialisme dan kolonialisme. Oleh sebab itu, seluruh cabang ilmu pengetahua yang berhasil mereka kembangkan, digunakan untuk mempelajari masyarakat Timur, tetapi bukan untuk mensejahterakan mereka.  Ia digunakan untuk mencaplok mereka, baik dengan kekuatan militer maupun ideologi. Akibat dari upaya-paya tersebut, masyarakat Barat bukan hanya menjual produk-produk iptek, tetapi juga mereka “mendakwahkan” kultur (bahkan agama) yang mereka peluk. Akibatnya, masyarakat Timur bukan hanya mengkonsumsi produk teknologi, tetapi juga harus menelan pil pait kultur Barat yang bertentangan dnegan kultur Timur, bahkan merasa bangga mengikuti Barat secara membabi buta.Di antara pemikiran Barat yang saat ini dicangkokkan ke dalam pemikiran keagamaan (baca: Islam) adalah liberalisasi pemikiran, teologi inklusivisme, pluralisme, sekularisme, materialisme, Marxisme, kapitalisme dan lain sebagainya.[11]
Pada dasarnya, ketika buah pemikiran Barat modern tersebut dibawa ke dalam Islam, ia dapat menjadi unsur positif yang sangat bermanfaat untuk pengembangan studi Islam, tetapi pada waktu yang bersamaan ia juga dapat menjadi penyakit berbahaya. Terdapat banyak hal positif yang dapat kita ambil dari metode pemikiran Barat modern, tetapi juga terdapat duri yang—jika kita ingin—selamat, maka duri tersebut harus kita singkirkan dan setelah durinya tersingkir, kita bisa menikmati dagingnya tanpa was-was tertusuk duri.
Dengan kata lain, mengingat metode-metode tersebut lahir di Barat yang memiliki kultur dan pandangan hidup yang berbeda dengan Islam, maka Islam harus dijadikan sebagai “sabun” pembersih duri agar produk pemikiran Barat tersebut steril. Yang jadi persoalan kita adalah ketika produk Barat kita ekspor dan kita telan mentah-mentah tanpa melihat kondisi kita sebagai masyarakat Timur Muslim, padahal saat masyarakat Eropa mengambil metode pengembangan ilmu dari Islam, mereka juga tidak menelannya mentah-mentah.
Oleh sebab itu, jika kita sudah mensterilkan metode Barat dari warna Barat, maka hasil studi mereka tentang agama dan masyarakat dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperkaya khazanah Islam. Hal seperti inilah yang telah dilakukan oleh beberapa orientalis yang objektif ketika mereka mengkaji Islam. Mereka dapat menghasilkan karya tentang Islam, padahal umat Islam sendiri belum mencapai kesana. Selain itu, tidak akan ada pertentangan lagi antara studi Islam hasil kajian orientalis dengan hasil umat Islam. Yang akan bermasalah adalah ketika hasil kajian orientalis didompleng oleh kepentingan Kristenisasi atau kolonialiasi. Oleh sebab itu, ketika di Barat berbicara tentang kebebasan, maka kita dapat menerapkan kebebasan Barat dengan ukuran al-Quran. Demikian pula ketika kita melihat isu-isu HAM,demokratisasi,pluralisasi dan lain sebagainya.











PENUTUP DAN KESIMPULAN
A.    Kesimpulan
Jadi dari rahim islam tradisionalisme lahairlah islam neo-tradisionalisme ( pembaharuan tradisi, yaitu sebuah usaha pembaharuan yang menggunakan tradisi sebagai pintu masuknya. Dengan cara mengkemas menjadi sebuah potensi yang dapat mendorng kemajuan), yang dipelopori oleh gus dur dkk. Dan tradisonalisme radikal yang didukung oleh sejumlah kyai pesantren. Neo- Tradisionalisme membuka jalan bagi munculnya post-tradisionlalisme islam, sedangkan tradisionalaisme radikal menumbuhkan corak keagamaan neo-tradisionalisme radikal sebagi antitesa post-tradisionlisme islam.
Di sisi lain, dalam tubuh islam modern juga muncul atau berkembang beragam pemikiran yang secara garis besarnya dapat dipetakan menjadi tiga yaitu Neo-Modernisme, ahmad syafi’I maarif.  islam transformative ( islam kiri), moeslim Abdurrahman dan islam salafi radikal ( bercorak islam puritan). Neo modernism islam dan islam transformative melahirkan generasi islam liberal yang corak pemikirannya bercorak post-puritanisme ( semangat untuk mengkritisi dan menyegarkan kembali proses purifikasi dan dinamisasi yang dilakukan oleh moderenisme islam awal. Ada sebuah usaha untuk melihat permasalahan tradisi dan budaya local melalui  kultur bukan pendekatan aqidah)pendekatan , dan salafi radikal memunculkan neo salafiah. Kemunculan islam liberal banya ditentang dan memperoleh perlawanan yang gigih dari kaum neo- tradisionalisme radikal dan neo-salafiah radikal karena dalam pandangan mereka, usaha liberalisasi pemikiran dapat merusak islam itu sendiri.

     Pengaruh pemikiran barat terhadap pemikiran orang Islam dalam kasus sekulerisme
1)      Orang pertama yang mempopulerkan sekulerisme adalah George Holoyake ( 1846 ) seorang penulis Inggris
2)      sekularisme menjelaskan pandangannya yang mendukung tata-nan sosial terpisah dari agama. (bukan hanya islam karena di eropa , sekulerisme merupakan pembebasan rakyat eropa terhadap doktrinisasi gereja)
3)      Sekulerisme berbeda dengan Atheisme. Karena kaum sekuler ma-sih mempercayai adanya Tuhan, sehingga ideologi yang terbangun khususnya oleh umat islam saat ini terkesan dinamis namun diskontruktif.
4)      Sekulerisme merupakan faham yang menjadikan dunia sebagai surga, sehingga lebih cenderung bersifat materialistis, patriotism, liberalis, pragmatis dan positivistic. Ketika dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap pemikran orang Islam akan terlihat jelas dalam perubahan budaya kehidupan orang Islam yang cenderung kebarat-baratan ; elitis, trendis, exklusif, hidup bebas, bebas nilai dan sejenisnya
5)      Sekuleris Islam lebih menonjolkan sifat humanis, sosialis sebagai bentuk ibadahnya dan mengutamakan penilaian objektif, rasional, empiris, logis, daripada religiusitasnya
6)      Sekuleris Islam mengedepankan ayat-ayat alam (fenomenologi) sebagai pedoman hidup

B.     PENUTUP
Mau tidak mau kita sebagai muslim harus menerima kenyataan ini, Sekulerisasi (ideology) telah didepan mata, globalisasi telah nyata (ekonomis) dan hedonism (kultur) ada dimana-mana, yang terpenting marilah kita buktikan bahwa agama Islam adalah agama yang menekankan ajaran kebenaran, tidak ada keburukan dalam Islam dan seluruh kebenaran adalah Islam.
1.      Jalan yang harus ditempuh bukanlah apatis atau anarkis apalagi menghindar, salah satu poin penting dari ini semua adalah karena kita jarang belajar daripada mereka, kita termabokan sejarah (romantism) Islam yang begitu sempurna tanpa mempelajarinya, mengagungkan nabi kita tanpa mengamalkan apa yang beliau contohkan, sehingga mereka lebih dinamis daripada kita.
2.      Bukan inverior atau rendah diri, tapi ini nyata, banyak produk mereka yang kita gunakan, banyak hasil keilmuan mereka yang  kita banggakan, bukankah mereka lebih bermanfaat di dunia (milik Allah) ini, tanpa produk dan pemikiran mereka apakah sekarang kita dapat belajar dengan nyaman, berkomunikasi dengan lancar bahkan mungkin ibadah kita kepada Allah tidak sempurna jika segala produk mereka hanya tertutup untuk mereka.
3.      Mari bersama kita bangkit, menampakan ilmu-ilmu yang sudah sempurna dalam sumber dari segala sumber (Al-Qur’an) sehingga kita tidak lagi konsumtif  terhadap produk mereka, dan tunjukan pada DUNIA, hanya Islam agama yang Rahmatal lil alamin
4.      Mohon maaf jika ada salah kata dan penulisan, kami penulis hanyalah insane yang masih dalam proses belajar, kami butuh saran dan kritik yang membangun guna perbaikan diri dan khusunya makalah ini, akhirnya semoga kita termasuk hamba yang senantiasa belajar dan memiliki manfaat, tiada lain hanyalah untuk ridlo Allah SWT. A M I I N
                                                                                                                                    


[1] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism, diterbitkan oleh ABIM pertama kali pada 1978. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993
[2]  Maryam jameela, dalam buku husaini adian, wajah peradaban barat; Jakarta gema insane 2005. Hal 234
[3] Bernad lewis, what went wrong?; westrn impact and middle eastern response, ( London; ponixs 2002) hal. 115.
[4] Pendapat leeuwen dikutip dalam buku husaini adian, wajah peradaban barat; Jakarta gema insane 2005. Hal. 28
[5] husaini adian, wajah peradaban barat; Jakarta gema insane 2005. Hal. 29

[6] ibid
[7]  Abul hasan ali an nadwi, dalam buku husaini adian, wajah peradaban barat; Jakarta gema insane 2005. Hal 232

[8] Muhammad asad, dalam buku husaini adian, wajah peradaban barat; Jakarta gema insane 2005. Hal 232

[9]  Sayyid Qutb, dalam buku husaini adian, wajah peradaban barat; Jakarta gema insane 2005. Hal 233

[10] Al-attas. 2001, Risalah Untuk Kaum Muslimin, kuala lumpur; ISTAC. Hal. 16
[11] : http//www. Cecep Taufikurrohman . Aliran Pemikiran Modern Dan Pengaruhnya Terhadap Studi Islam